Perdamaian dapat Diajukan dan Dilakukan meski Perkara Gugatan telah Memasuki Tahap Upaya Hukum Banding maupun Kasasi

LEGAL OPINION
Question: Saat ini berkas perkara gugatan yang saya hadapi akan dilimpahkan ke Mahkamah Agung dalam upaya hukum kasasi. Adakah kemungkinan antara saya dan pihak penggugat mengajukan dan menyepakati perdamaian meski berkas perkara sudah terlanjut berlanjut pada kasasi?
Brief Answer: Dimungkinkan, baik banding maupun kasasi tidak menutup hak para pihak dalam sengketa perdata untuk menyepakati Akta Perdamaian (van dading). Mengenai kemungkinan Perdamaian Sukarela pada tingkat upaya hukum banding, kasasi, atau peninjauan kembali, hal tersebut dimungkinkan sepanjang perkara belum diputus pada tingkat upaya hukum banding, kasasi atau peninjauan kembali, dimana Para Pihak atas dasar kesepakatan dapat menempuh upaya perdamaian.
Namun demikian, terdapat dua kemungkinan yang perlu diketahui jika terjadi Kesepakatan Perdamaian Sebagian:
1.    Kesepakatan Perdamaian Sebagian dalam konteks Mediasi mencapai kesepakatan antara penggugat dan sebagian pihak tergugat, antara pihak tidak dapat dilakukan pada perdamaian sukarela tahap pemeriksaan perkara dan tingkat upaya hukum banding, kasasi, atau peninjauan kembali.
2.    Kesepakatan Perdamaian Sebagian berupa kesepakatan atas sebagian dari seluruh objek perkara atau tuntutan hukum (dapat) berlaku pada perdamaian sukarela tahap pemeriksaan perkara dan tingkat upaya hukum banding, kasasi, atau peninjauan kembali.
PEMBAHASAN :
Proses mediasi dalam perkara gugatan perdata acapkali menuai problema, karena selama ini dalam praktiknya dinilai sebagai formalitas yang membuang waktu belaka. Tidak menyerah atas kegagalan tersebut, kini Mahkamah Agung RI tampaknya terdesak untuk menderegulasi peraturan mengenai mediasi dengan diterbitkannya Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2016 Tentang Prosedur Mediasi Di Pengadilan.
Dalam review kali ini, SHIETRA & PARTNERS akan mengupas PERMA No. 1 Tahun 2016 secara terperinci, dimana MA RI menyebutkan bahwa PERMA tersebut adalah upaya penyempurnaan terhadap Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2008 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan yang dirasakan belum optimal memenuhi kebutuhan pelaksanaan Mediasi yang lebih berdayaguna.
Dalam Peraturan Mahkamah Agung ini akan kita jumpai beberapa terminologi hukum, antara lain:
1.    Mediasi adalah cara penyelesaian sengketa melalui proses perundingan untuk memperoleh kesepakatan Para Pihak dengan dibantu oleh Mediator.
2.    Mediator adalah Hakim atau pihak lain yang memiliki Sertifikat Mediator sebagai pihak netral yang membantu Para Pihak dalam proses perundingan guna mencari berbagai kemungkinan penyelesaian sengketa tanpa menggunakan cara memutus atau memaksakan sebuah penyelesaian.
3.    Para Pihak adalah dua atau lebih subjek hukum yang bersengketa dan membawa sengketa mereka ke Pengadilan untuk memperoleh penyelesaian.
4.    Biaya Mediasi adalah biaya yang timbul dalam proses Mediasi sebagai bagian dari biaya perkara, yang di antaranya meliputi biaya pemanggilan Para Pihak, biaya perjalanan salah satu pihak berdasarkan pengeluaran nyata, biaya pertemuan, biaya ahli, dan/atau biaya lain yang diperlukan dalam proses Mediasi.
5.    Resume Perkara adalah dokumen yang dibuat oleh Para Pihak yang memuat duduk perkara dan usulan perdamaian.
6.    Kesepakatan Perdamaian adalah kesepakatan hasil Mediasi dalam bentuk dokumen yang memuat ketentuan penyelesaian sengketa yang ditandatangani oleh Para Pihak dan Mediator.
7.    Kesepakatan Perdamaian Sebagian adalah kesepakatan antara pihak penggugat dengan sebagian atau seluruh pihak tergugat dan kesepakatan Para Pihak terhadap sebagian dari seluruh objek perkara dan/atau permasalahan hukum yang disengketakan dalam proses Mediasi.
8.    Akta Perdamaian adalah akta yang memuat isi naskah perdamaian dan putusan Hakim yang menguatkan Kesepakatan Perdamaian.
9.    Hakim adalah hakim pada Pengadilan tingkat pertama dalam lingkungan peradilan umum dan peradilan agama.
10.Hakim Pemeriksa Perkara adalah majelis hakim yang ditunjuk oleh ketua Pengadilan untuk memeriksa dan mengadili perkara.
11.Pegawai Pengadilan adalah panitera, sekretaris, panitera pengganti, juru sita, juru sita pengganti, calon hakim dan pegawai lainnya.
12.Pengadilan adalah Pengadilan tingkat pertama dalam lingkungan peradilan umum dan peradilan agama.
13.Pengadilan Tinggi adalah pengadilan tingkat banding dalam lingkungan peradilan umum dan peradilan agama.
14.Hari adalah hari kerja
Ketentuan mengenai Prosedur Mediasi dalam Peraturan Mahkamah Agung ini berlaku dalam proses berperkara di Pengadilan baik dalam lingkungan peradilan umum maupun peradilan agama. Setiap Hakim, Mediator, Para Pihak dan/atau kuasa hukum wajib mengikuti prosedur penyelesaian sengketa melalui Mediasi.
Hakim Pemeriksa Perkara yang tidak memerintahkan Para Pihak untuk menempuh Mediasi sehingga Para Pihak tidak melakukan Mediasi telah melanggar ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai Mediasi di Pengadilan. Dalam hal terjadi pelanggaran, apabila diajukan upaya hukum maka Pengadilan Tingkat Banding atau Mahkamah Agung dengan putusan sela memerintahkan Pengadilan Tingkat Pertama untuk melakukan proses Mediasi—karena pada prinsipnya perdamaian perdata dapat diajukan kapan pun itu meski berkas perkara tengah dalam proses pemeriksaan banding maupun kasasi.
Dalam konteks Pengadilan Tingkat Pertama tidak mengupayakan mediasi, Ketua Pengadilan menunjuk Mediator Hakim yang bukan Hakim Pemeriksa Perkara yang memutus. Sementara proses Mediasi dilakukan paling lama 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak diterimanya pemberitahuan putusan sela Pengadilan Tinggi atau Mahkamah Agung. Setelah itu Ketua Pengadilan menyampaikan laporan hasil Mediasi berikut berkas perkara ke Pengadilan Tinggi atau Mahkamah Agung, yang mana berdasarkan laporan tersebut, Hakim Pemeriksa Perkara pada Pengadilan Tinggi atau Mahkamah Agung menjatuhkan putusan.
Mengenai jenis perkara yang wajib menempuh Mediasi, PERMA menyatakan bahwa semua sengketa perdata yang diajukan ke Pengadilan termasuk perkara perlawanan (verzet) atas putusan verstek dan perlawanan pihak berperkara (partij verzet) maupun pihak ketiga (derden verzet) terhadap pelaksanaan putusan yang telah berkekuatan hukum tetap, wajib terlebih dahulu diupayakan penyelesaian melalui Mediasi.
Meski demikian, PERMA kemudian menyatakan adanya jenis sengketa yang dikecualikan dari kewajiban penyelesaian melalui Mediasi, meliputi:
a. sengketa yang pemeriksaannya di persidangan ditentukan tenggang waktu penyelesaiannya meliputi antara lain:
1.    sengketa yang diselesaikan melalui prosedur Pengadilan Niaga (seperti Kepailitan, Hak Kekayaan Intelektual, dsb);
2.    sengketa yang diselesaikan melalui prosedur Pengadilan Hubungan Industrial;
3.    keberatan atas putusan Komisi Pengawas Persaingan Usaha;
4.    keberatan atas putusan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen;
5.    permohonan pembatalan putusan arbitrase;
6.    keberatan atas putusan Komisi Informasi;
7.    penyelesaian perselisihan partai politik;
8.    sengketa yang diselesaikan melalui tata cara gugatan sederhana; dan
9.    sengketa lain yang pemeriksaannya di persidangan ditentukan tenggang waktu penyelesaiannya dalam ketentuan peraturan perundang-undangan;
b. sengketa yang pemeriksaannya dilakukan tanpa hadirnya penggugat atau tergugat yang telah dipanggil secara patut;
c. gugatan balik (rekonvensi) dan masuknya pihak ketiga dalam suatu perkara (intervensi);
d. sengketa mengenai pencegahan, penolakan, pembatalan dan pengesahan perkawinan;
e. sengketa yang diajukan ke Pengadilan setelah diupayakan penyelesaian di luar Pengadilan melalui Mediasi dengan bantuan Mediator bersertifikat yang terdaftar di Pengadilan setempat tetapi dinyatakan tidak berhasil berdasarkan pernyataan yang ditandatangani oleh Para Pihak dan Mediator bersertifikat (Pernyataan ketidak-berhasilan Mediasi dan salinan sah Sertifikat Mediator dilampirkan dalam surat gugatan).
Berdasarkan kesepakatan Para Pihak, sengketa yang dikecualikan kewajiban Mediasi sebagaimana dimaksud diatas, tetap dapat diselesaikan melalui Mediasi sukarela pada tahap pemeriksaan perkara dan tingkat upaya hukum (sehingga, meski perkara memasuki tingkat banding maupun kasasi, kemungkinan melakukan perdamaian tetap terbuka).
Proses Mediasi pada dasarnya bersifat tertutup kecuali Para Pihak menghendaki lain.
Perhatikan satu kaidah dalam PERMA yang menarik berikut: Penyampaian laporan Mediator mengenai pihak yang tidak beriktikad baik dan ketidakberhasilan proses Mediasi kepada Hakim Pemeriksa Perkara bukan merupakan pelanggaran terhadap sifat tertutup Mediasi. Sering terjadi, salah satu pihak mempermainkan pihak lain dengan bersikap tidak kooperatif dalam proses mediasi, seperti tidak pernah hadir atau menjanjikan hadir pada satu jadwal yang disepakati namun ternyata mengingkari.
Pertemuan Mediasi dapat dilakukan melalui media komunikasi audio visual jarak jauh yang memungkinkan semua pihak saling melihat dan mendengar secara langsung serta berpartisipasi dalam pertemuan.
Para Pihak wajib menghadiri secara langsung pertemuan Mediasi dengan atau tanpa didampingi oleh kuasa hukum—artinya pihak principal dari para pihak dalam sengketa wajib hadir secara langsung. Sementara kehadiran Para Pihak melalui komunikasi audio visual jarak jauh dianggap sebagai kehadiran langsung.
Akan tetapi PERMA memberi escape clause: Ketidakhadiran Para Pihak secara langsung dalam proses Mediasi hanya dapat dilakukan berdasarkan alasan sah, meliputi antara lain:
a.       kondisi kesehatan yang tidak memungkinkan hadir dalam pertemuan Mediasi berdasarkan surat keterangan dokter;
b.      di bawah pengampuan;
c.       mempunyai tempat tinggal, kediaman atau kedudukan di luar negeri; atau
d.      menjalankan tugas negara, tuntutan profesi atau pekerjaan yang tidak dapat ditinggalkan.
Para Pihak dan/atau kuasa hukumnya wajib menempuh Mediasi dengan iktikad baik. Salah satu pihak atau Para Pihak dan/atau kuasa hukumnya dapat dinyatakan tidak beriktikad baik oleh Mediator dalam hal yang bersangkutan:
a.       tidak hadir setelah dipanggil secara patut 2 (dua) kali berturut-turut dalam pertemuan Mediasi tanpa alasan sah;
b.      menghadiri pertemuan Mediasi pertama, tetapi tidak pernah hadir pada pertemuan berikutnya meskipun telah dipanggil secara patut 2 (dua) kali berturut-turut tanpa alasan sah;
c.       ketidakhadiran berulang-ulang yang mengganggu jadwal pertemuan Mediasi tanpa alasan sah;
d.      menghadiri pertemuan Mediasi, tetapi tidak mengajukan dan/atau tidak menanggapi Resume Perkara pihak lain; dan/atau
e.       tidak menandatangani konsep Kesepakatan Perdamaian yang telah disepakati tanpa alasan sah.
Jasa Mediator Hakim dan Pegawai Pengadilan tidak dikenakan biaya. Namun biaya jasa Mediator non-hakim dan bukan Pegawai Pengadilan ditanggung bersama atau berdasarkan kesepakatan Para Pihak.
Biaya pemanggilan Para Pihak untuk menghadiri proses Mediasi dibebankan terlebih dahulu kepada pihak penggugat melalui panjar biaya perkara, yang akan ditambahkan pada perhitungan biaya pemanggilan Para Pihak untuk menghadiri sidang.
Bila Para Pihak berhasil mencapai Kesepakatan Perdamaian, biaya pemanggilan ditanggung bersama atau sesuai kesepakatan Para Pihak. Sementara dalam hal Mediasi tidak dapat dilaksanakan atau tidak berhasil mencapai kesepakatan, biaya pemanggilan Para Pihak dibebankan kepada pihak yang kalah, kecuali perkara perceraian di lingkungan peradilan agama.
Adapun biaya lain-lain di luar biaya jasa Mediator dan biaya pemanggilan Para Pihak dibebankan kepada Para Pihak berdasarkan kesepakatan.
Mediasi diselenggarakan di ruang Mediasi Pengadilan atau di tempat lain di luar Pengadilan yang disepakati oleh Para Pihak. Mediator Hakim dan Pegawai Pengadilan dilarang menyelenggarakan Mediasi di luar Pengadilan. Mediator non hakim dan bukan Pegawai Pengadilan yang dipilih atau ditunjuk bersama-sama dengan Mediator Hakim atau Pegawai Pengadilan dalam satu perkara wajib menyelenggarakan Mediasi bertempat di Pengadilan. Penggunaan ruang Mediasi Pengadilan untuk Mediasi tidak dikenakan biaya.
Setiap Mediator wajib memiliki Sertifikat Mediator yang diperoleh setelah mengikuti dan dinyatakan lulus dalam pelatihan sertifikasi Mediator yang diselenggarakan oleh Mahkamah Agung atau lembaga yang telah memperoleh akreditasi dari Mahkamah Agung.
Berdasarkan surat keputusan ketua Pengadilan, Hakim tidak bersertifikat dapat menjalankan fungsi Mediator dalam hal tidak ada atau terdapat keterbatasan jumlah Mediator bersertifikat.
Dalam menjalankan fungsinya, Mediator bertugas:
a.       memperkenalkan diri dan memberi kesempatan kepada Para Pihak untuk saling memperkenalkan diri;
b.      menjelaskan maksud, tujuan, dan sifat Mediasi kepada Para Pihak;
c.       menjelaskan kedudukan dan peran Mediator yang netral dan tidak mengambil keputusan;
d.      membuat aturan pelaksanaan Mediasi bersama Para Pihak;
e.       menjelaskan bahwa Mediator dapat mengadakan pertemuan dengan satu pihak tanpa kehadiran pihak lainnya (kaukus);
f.       menyusun jadwal Mediasi bersama Para Pihak;
g.      mengisi formulir jadwal mediasi.
h.      memberikan kesempatan kepada Para Pihak untuk menyampaikan permasalahan dan usulan perdamaian;
i.        menginventarisasi permasalahan dan mengagendakan pembahasan berdasarkan skala proritas;
j.        memfasilitasi dan mendorong Para Pihak untuk:
1. menelusuri dan menggali kepentingan Para Pihak;
2. mencari berbagai pilihan penyelesaian yang terbaik bagi Para Pihak; dan
3. bekerja sama mencapai penyelesaian;
k.      membantu Para Pihak dalam membuat dan merumuskan Kesepakatan Perdamaian;
l.        menyampaikan laporan keberhasilan, ketidakberhasilan dan/atau tidak dapat dilaksanakannya Mediasi kepada Hakim Pemeriksa Perkara;
m.    menyatakan salah satu atau Para Pihak tidak beriktikad baik dan menyampaikan kepada Hakim Pemeriksa Perkara (Jika dahulu bentuk-bentuk arogansi salah satu pihak tidak dituangkan dalam laporan hasil mediasi, kini sikap-sikap pihak itu sendiri akan menjadi salah satu pernilaian atas keseriusan salah satu pihak dalam gugatan);
n.      tugas lain dalam menjalankan fungsinya
adapun yang menjadi awal muka proses berperkara di pengadilan negeri, pada hari sidang yang telah ditentukan dan dihadiri oleh Para Pihak, Hakim Pemeriksa Perkara mewajibkan Para Pihak untuk menempuh Mediasi. Kehadiran Para Pihak berdasarkan panggilan yang sah dan patut.
Pemanggilan pihak yang tidak hadir pada sidang pertama dapat dilakukan pemanggilan satu kali lagi sesuai dengan praktik hukum acara. Dalam hal para pihak lebih dari satu, Mediasi tetap diselenggarakan setelah pemanggilan dilakukan secara sah dan patut walaupun tidak seluruh pihak hadir.
Ketidakhadiran pihak turut tergugat yang kepentingannya tidak signifikan tidak menghalangi pelaksanaan Mediasi.
Hakim Pemeriksa Perkara wajib menjelaskan Prosedur Mediasi kepada Para Pihak, dengan penjelasan meliputi:
a.     pengertian dan manfaat Mediasi;
b.    kewajiban Para Pihak untuk menghadiri langsung pertemuan Mediasi berikut akibat hukum atas perilaku tidak beriktikad baik dalam proses Mediasi;
c.     biaya yang mungkin timbul akibat penggunaan Mediator nonhakim dan bukan Pegawai Pengadilan;
d.    pilihan menindaklanjuti Kesepakatan Perdamaian melalui Akta Perdamaian (yang bila dikukuhkan pengadilan, maka menjadi bersifat berkekuatan hukum tetap (inkracht) dan memiliki kekuatan eksekutorial) atau pencabutan gugatan (tidak mengakibatkan inkracht); dan
e.     kewajiban Para Pihak untuk menandatangani formulir penjelasan Mediasi.
Hakim Pemeriksa Perkara menyerahkan formulir penjelasan Mediasi kepada Para Pihak yang memuat pernyataan bahwa Para Pihak:
a.       memperoleh penjelasan prosedur Mediasi secara lengkap dari Hakim Pemeriksa Perkara;
b.      memahami dengan baik prosedur Mediasi; dan
Kuasa hukum wajib membantu Para Pihak (pihak principal) melaksanakan hak dan kewajibannya dalam proses Mediasi, meliputi:
a.     menyampaikan penjelasan Hakim Pemeriksa Perkara kepada Para Pihak;
b.    mendorong Para Pihak berperan langsung secara aktif dalam proses Mediasi;
c.     membantu Para Pihak mengidentifikasi kebutuhan, kepentingan dan usulan penyelesaian sengketa selama proses Mediasi;
d.    membantu Para Pihak merumuskan rencana dan usulan Kesepakatan Perdamaian dalam hal Para Pihak mencapai kesepakatan;
e.     menjelaskan kepada Para Pihak terkait kewajiban kuasa hukum.
Dalam hal Para Pihak berhalangan hadir berdasarkan alasan yang sah, kuasa hukum dapat mewakili Para Pihak untuk melakukan Mediasi dengan menunjukkan surat kuasa khusus yang memuat kewenangan kuasa hukum untuk mengambil keputusan—dengan kata lain tidak lagi dibenarkan praktik selama ini dimana surat kuasa khusus untuk menggugat atau menjadi tergugat include dengan pemberian kuasa untuk menerima atau menolak perdamaian.
Kuasa hukum yang bertindak mewakili Para Pihak wajib berpartisipasi dalam proses Mediasi dengan iktikad baik dan dengan cara yang tidak berlawanan dengan pihak lain atau kuasa hukumnya.
Para Pihak berhak memilih seorang atau lebih Mediator yang tercatat dalam Daftar Mediator di Pengadilan. Jika dalam proses Mediasi terdapat lebih dari satu orang Mediator, pembagian tugas Mediator ditentukan dan disepakati oleh para Mediator.
Setelah memberikan penjelasan mengenai kewajiban melakukan Mediasi, Hakim Pemeriksa Perkara mewajibkan Para Pihak pada hari itu juga, atau paling lama 2 (dua) hari berikutnya untuk berunding guna memilih Mediator termasuk biaya yang mungkin timbul akibat pilihan penggunaan Mediator nonhakim dan bukan Pegawai Pengadilan.
Para Pihak segera menyampaikan Mediator pilihan mereka kepada Hakim Pemeriksa Perkara. Apabila Para Pihak tidak dapat bersepakat memilih Mediator dalam jangka waktu, ketua majelis Hakim Pemeriksa Perkara segera menunjuk Mediator Hakim atau Pegawai Pengadilan.
Jika pada Pengadilan yang sama tidak terdapat Hakim bukan pemeriksa perkara dan Pegawai Pengadilan yang bersertifikat, ketua majelis Hakim Pemeriksa Perkara menunjuk salah satu Hakim Pemeriksa Perkara untuk menjalankan fungsi Mediator dengan mengutamakan Hakim yang bersertifikat.
Jika Para Pihak telah memilih Mediator atau ketua majelis Hakim Pemeriksa Perkara menunjuk Mediator, ketua majelis Hakim Pemeriksa Perkara menerbitkan penetapan yang memuat perintah untuk melakukan Mediasi dan menunjuk Mediator.
Hakim Pemeriksa Perkara memberitahukan penetapan kepada Mediator melalui panitera pengganti. Hakim Pemeriksa Perkara wajib menunda proses persidangan untuk memberikan kesempatan kepada Para Pihak menempuh Mediasi.
Mediator menentukan hari dan tanggal pertemuan Mediasi, setelah menerima penetapan penunjukan sebagai Mediator. Dalam hal Mediasi dilakukan di gedung Pengadilan, Mediator atas kuasa Hakim Pemeriksa Perkara melalui Panitera melakukan pemanggilan Para Pihak dengan bantuan juru sita atau juru sita pengganti untuk menghadiri pertemuan Mediasi.
Apa konsekuensi hukum bagi pihak yang tidak beriktikad baik dalam proses Mediasi? PERMA menyatakan, apabila penggugat dinyatakan tidak beriktikad baik dalam proses Mediasi, gugatan dinyatakan tidak dapat diterima oleh Hakim Pemeriksa Perkara. Kasus seperti ini sangat sering terjadi dalam praktiknya di pengadilan, dimana pihak penggugat justru mempermainkan pihak tergugat dengan tidak pernah hadir saat sesi mediasi, mengakibatkan waktu dan energi tergugat terbuang percuma, terlebih bila pihak tergugat lebih dari satu pihak dan berasal dari luar kota sebagaimana sering terjadi. PERMA ini menjadi salah satu terobosan dan kemajuan hukum acara.
Penggugat yang dinyatakan tidak beriktikad baik dikenai pula kewajiban pembayaran Biaya Mediasi (Note SHIETRA & PARTNERS: apakah salah satunya biaya bagi pihak Tergugat yang datang jauh-jauh dari luar kota namun Penggugat tidak pernah hadir saat mediasi?).
Mediator menyampaikan laporan penggugat tidak beriktikad baik kepada Hakim Pemeriksa Perkara disertai rekomendasi pengenaan Biaya Mediasi dan perhitungan besarannya dalam laporan ketidakberhasilan atau tidak dapat dilaksanakannya Mediasi.
Berdasarkan laporan Mediator, Hakim Pemeriksa Perkara mengeluarkan putusan yang merupakan putusan akhir yang menyatakan gugatan tidak dapat diterima disertai penghukuman pembayaran Biaya Mediasi dan biaya perkara.
Biaya Mediasi sebagai penghukuman kepada penggugat dapat diambil dari panjar biaya perkara atau pembayaran tersendiri oleh penggugat dan diserahkan kepada tergugat melalui kepaniteraan Pengadilan.
Sementara itu, bila Tergugat yang dinyatakan tidak beriktikad baik, Tergugat tersebutlah yang kemudian dikenai kewajiban pembayaran Biaya Mediasi. Menurut hemat SHIETRA & PARTNERS, ketentuan ini kurang tepat, mengingat gugatan diajukan demi dan untuk kepentingan pihak Penggugat. Sering dan acapkali terjadi, pihak Tergugat sengaja dijadikan Tergugat oleh Penggugat demi mempermainkan Tergugat seperti debitor yang menggugat kreditornya dengan harapan lelang eksekusi akan batal, dsb.
Mediator menyampaikan laporan tergugat tidak beriktikad baik kepada Hakim Pemeriksa Perkara disertai rekomendasi pengenaan Biaya Mediasi dan perhitungan besarannya dalam laporan ketidakberhasilan atau tidak dapat dilaksanakannya Mediasi. Berdasarkan laporan Mediator tersebut, sebelum melanjutkan pemeriksaan, Hakim Pemeriksa Perkara dalam persidangan yang ditetapkan berikutnya wajib mengeluarkan penetapan yang menyatakan tergugat tidak beriktikad baik dan menghukum tergugat untuk membayar Biaya Mediasi.
Biaya Mediasi sebagaimana dimaksud diatas merupakan bagian dari biaya perkara yang wajib disebutkan dalam amar putusan akhir.
Dalam hal Tergugat dimenangkan dalam putusan, amar putusan menyatakan Biaya Mediasi dibebankan kepada Tergugat, sedangkan biaya perkara tetap dibebankan kepada Penggugat sebagai pihak yang kalah. Note SHIETRA & PARTNERS: terjadi akrobatik logika hukum dalam kaidah ini. Bila seorang warga negara dengan itikad buruk menggugat warga negara lain hanya demi mempermainkan lawannya yang dijadikan Tergugat tersebut, lantas sudah pasti gugatan akan ditolak atau tidak diterima hakim, maka apa pantas biaya mediasi dibebankan pada Tergugat?
Dalam perkara perceraian di lingkungan peradilan agama, Tergugat  dihukum membayar Biaya Mediasi, sedangkan biaya perkara dibebankan kepada Penggugat. Akan kerancuan logika hukum diatas, alangkah bijak bila Tergugat memilih mediator dari lembaga peradilan itu sendiri agar terdapat biaya yang dapat dibebankan.
Pembayaran Biaya Mediasi oleh tergugat yang akan diserahkan kepada penggugat melalui kepaniteraan Pengadilan mengikuti pelaksanaan putusan yang telah berkekuatan hukum tetap.
Dalam hal Para Pihak secara bersama-sama dinyatakan tidak beriktikad baik oleh Mediator, gugatan dinyatakan tidak dapat diterima oleh Hakim Pemeriksa Perkara tanpa penghukuman Biaya Mediasi.
Dalam waktu paling lama 5 (lima) hari terhitung sejak penetapan, Para Pihak dapat menyerahkan Resume Perkara kepada pihak lain dan Mediator.  Proses Mediasi berlangsung paling lama 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak penetapan perintah melakukan Mediasi. Artinya bukan "paling singkat".
Atas dasar kesepakatan Para Pihak, jangka waktu Mediasi dapat diperpanjang paling lama 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak berakhir jangka waktu diatas. Mediator atas permintaan Para Pihak mengajukan permohonan perpanjangan jangka waktu Mediasi kepada Hakim Pemeriksa Perkara disertai dengan alasannya.
Materi perundingan dalam Mediasi tidak terbatas pada posita dan petitum gugatan. Dalam hal Mediasi mencapai kesepakatan atas permasalahan di luar sebagaimana diuraikan diatas, penggugat mengubah gugatan dengan memasukkan kesepakatan tersebut di dalam gugatan.
Atas persetujuan Para Pihak dan/atau kuasa hukum, Mediator dapat menghadirkan seorang atau lebih ahli, tokoh masyarakat, tokoh agama, atau tokoh adat. Para Pihak harus terlebih dahulu mencapai kesepakatan tentang kekuatan mengikat atau tidak mengikat dari penjelasan dan/atau penilaian ahli dan/atau tokoh masyarakat tersebut.
Jika Mediasi berhasil mencapai kesepakatan, Para Pihak dengan bantuan Mediator wajib merumuskan kesepakatan secara tertulis dalam Kesepakatan Perdamaian yang ditandatangani oleh Para Pihak dan Mediator.
Dalam membantu merumuskan Kesepakatan Perdamaian, Mediator wajib memastikan Kesepakatan Perdamaian tidak memuat ketentuan yang:
a. bertentangan dengan hukum, ketertiban umum, dan/atau kesusilaan;
b. merugikan pihak ketiga; atau
c. tidak dapat dilaksanakan.
Dalam proses Mediasi yang diwakili oleh kuasa hukum, penandatanganan Kesepakatan Perdamaian hanya dapat dilakukan apabila terdapat pernyataan Para Pihak secara tertulis yang memuat persetujuan atas kesepakatan yang dicapai.
Para Pihak melalui Mediator dapat mengajukan Kesepakatan Perdamaian kepada Hakim Pemeriksa Perkara agar dikuatkan dalam Akta Perdamaian (acte van dading).
Sementara alternatif lainnya, jika Para Pihak tidak menghendaki Kesepakatan Perdamaian dikuatkan dalam Akta Perdamaian, Kesepakatan Perdamaian wajib memuat pencabutan gugatan. Misal Penggugat hendak memberi waktu pada Tergugat untuk melunasi hutangnya dengan penjadwalan ulang (rescheduling), maka agar Penggugat dapat kembali mengajukan gugatan terhadap Tergugat yang ternyata dikemudian hari tetap menunggak, maka alternatif ini paling tepat, alias tanpa resiko dinyatakan gugatan nebis in idem.
Mediator wajib melaporkan secara tertulis keberhasilan Mediasi kepada Hakim Pemeriksa Perkara dengan melampirkan Kesepakatan Perdamaian. Setelah menerima Kesepakatan Perdamaian, Hakim Pemeriksa Perkara segera mempelajari dan menelitinya dalam waktu paling lama 2 (dua) hari.
Dalam hal substansi Kesepakatan Perdamaian yang diminta dikuatkan dalam Akta Perdamaian belum memenuhi ketentuan (seperti bertentangan dengan hukum, ketertiban umum, dan/atau kesusilaan, merugikan pihak ketiga, ataupun tidak dapat dilaksanakan), Hakim Pemeriksa Perkara wajib mengembalikan Kesepakatan Perdamaian kepada Mediator dan Para Pihak disertai petunjuk tentang hal yang harus diperbaiki.
Setelah mengadakan pertemuan dengan Para Pihak, Mediator wajib mengajukan kembali Kesepakatan Perdamaian yang telah diperbaiki kepada Hakim Pemeriksa Perkara paling lama 7 (tujuh) hari terhitung sejak tanggal penerimaan petunjuk perbaikan.
Paling lama 3 (tiga) hari setelah menerima Kesepakatan Perdamaian yang telah memenuhi ketentuan, Hakim Pemeriksa Perkara menerbitkan penetapan hari sidang untuk membacakan Akta Perdamaian. Kesepakatan Perdamaian yang dikuatkan dengan Akta Perdamaian tunduk pada ketentuan keterbukaan informasi di Pengadilan.
Bagaimana dengan pengaturan mengenai kesepakatan perdamaian sebagian? Disini PERMA mengatur dua model yang dapat terjadi, dengan masing-masing konsekuensi hukumnya:
1.    Dalam hal proses Mediasi mencapai kesepakatan antara penggugat dan sebagian pihak tergugat;
2.    Dalam hal Para Pihak mencapai kesepakatan atas sebagian dari seluruh objek perkara atau tuntutan hukum.
Dalam hal proses Mediasi mencapai kesepakatan antara penggugat dan sebagian pihak tergugat, penggugat mengubah gugatan dengan tidak lagi mengajukan pihak tergugat yang tidak mencapai kesepakatan sebagai pihak lawan.
Kesepakatan Perdamaian Sebagian antara pihak dibuat dan ditandatangani oleh penggugat dengan sebagian pihak tergugat yang mencapai kesepakatan dan Mediator. Kesepakatan Perdamaian Sebagian dapat dikuatkan dengan Akta Perdamaian sepanjang tidak menyangkut aset, harta kekayaan dan/atau kepentingan pihak yang tidak mencapai kesepakatan.
Penggugat dapat mengajukan kembali gugatan terhadap pihak yang tidak mencapai Kesepakatan Perdamaian Sebagian.
Dalam hal penggugat lebih dari satu pihak dan sebagian penggugat mencapai kesepakatan dengan sebagian atau seluruh pihak tergugat, tetapi sebagian penggugat yang tidak mencapai kesepakatan tidak bersedia mengubah gugatan, Mediasi dinyatakan tidak berhasil.
Kesepakatan Perdamaian Sebagian dalam konteks Mediasi mencapai kesepakatan antara penggugat dan sebagian pihak tergugat, antara pihak tidak dapat dilakukan pada perdamaian sukarela tahap pemeriksaan perkara dan tingkat upaya hukum banding, kasasi, atau peninjauan kembali.
Dalam hal Para Pihak mencapai kesepakatan atas sebagian dari seluruh objek perkara atau tuntutan hukum, Mediator menyampaikan Kesepakatan Perdamaian Sebagian tersebut dengan tetap memperhatikan substansi kesepakatan, kepada Hakim Pemeriksa Perkara sebagai lampiran laporan Mediator.
Hakim Pemeriksa Perkara melanjutkan pemeriksaan terhadap objek perkara atau tuntutan hukum yang belum berhasil disepakati oleh Para Pihak.
Dalam hal Mediasi mencapai kesepakatan sebagian atas objek perkara atau tuntutan hukum, Hakim Pemeriksa Perkara wajib memuat Kesepakatan Perdamaian Sebagian tersebut dalam pertimbangan dan amar putusan.
Kesepakatan Perdamaian Sebagian berupa kesepakatan atas sebagian dari seluruh objek perkara atau tuntutan hukum (dapat) berlaku pada perdamaian sukarela tahap pemeriksaan perkara dan tingkat upaya hukum banding, kasasi, atau peninjauan kembali.
Untuk Mediasi perkara perceraian dalam lingkungan peradilan agama yang tuntutan perceraian dikumulasikan dengan tuntutan lainnya, jika Para Pihak tidak mencapai kesepakatan untuk hidup rukun kembali, Mediasi dilanjutkan dengan tuntutan lainnya.
Dalam hal Para Pihak mencapai kesepakatan atas tuntutan lainnya, kesepakatan dituangkan dalam Kesepakatan Perdamaian Sebagian (perjanjian bersyarat) dengan memuat klausula keterkaitannya dengan perkara perceraian, dimana hanya dapat dilaksanakan jika putusan Hakim Pemeriksa Perkara yang mengabulkan gugatan perceraian telah berkekuatan hukum tetap.
Kesepakatan Perdamaian Sebagian atas tuntutan lainnya sebagaimana diatas tidak berlaku jika Hakim Pemeriksa Perkara menolak gugatan atau Para Pihak bersedia rukun kembali selama proses pemeriksaan perkara.
Mediator wajib menyatakan Mediasi tidak berhasil mencapai kesepakatan dan memberitahukannya secara tertulis kepada Hakim Pemeriksa Perkara, dalam hal:
a.       Para Pihak tidak menghasilkan kesepakatan sampai batas waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari berikut perpanjangannya ; atau
b.      Para Pihak dinyatakan tidak beriktikad baik.
Mediator wajib menyatakan Mediasi tidak dapat dilaksanakan dan memberitahukannya secara tertulis kepada Hakim Pemeriksa Perkara, dalam hal:
a. melibatkan aset, harta kekayaan atau kepentingan yang nyata-nyata berkaitan dengan pihak lain yang:
1.    tidak diikutsertakan dalam surat gugatan sehingga pihak lain yang berkepentingan tidak menjadi salah satu pihak dalam proses Mediasi (Note SHIETRA & PARTNERS: inilah yang dimaksud dengan audi et alteram partem. Banyak kalangan sarjana hukum yang keliru menafsirkan asas tersebut, seakan yang wajib didengar keterangan dan kehendaknya hanyalah para pihak dalam gugatan. Namun yang sebenarnya dimaksud dengan aude et alteram partem ialah didengarnya keterangan serta kehendak seluruh pihak-pihak yang berkepentingan, yang mana bisa jadi tidak turut digugat oleh penggugat yang bisa jadi juga secara sengaja tidak menarik pihak yang paling berkepentingan dalam gugatan);
2.    diikutsertakan sebagai pihak dalam surat gugatan dalam hal pihak berperkara lebih dari satu subjek hukum, tetapi tidak hadir di persidangan sehingga tidak menjadi pihak dalam proses Mediasi; atau
3.    diikutsertakan sebagai pihak dalam surat gugatan dalam hal pihak berperkara lebih dari satu subjek hukum dan hadir di persidangan, tetapi tidak pernah hadir dalam proses Mediasi.
b. melibatkan wewenang kementerian/lembaga/instansi di tingkat pusat/daerah dan/atau Badan Usaha Milik Negara/Daerah yang tidak menjadi pihak berperkara, kecuali pihak berperkara yang terkait dengan pihak-pihak tersebut telah memperoleh persetujuan tertulis dari kementerian/lembaga/instansi dan/atau Badan Usaha Milik Negara/Daerah untuk mengambil keputusan dalam proses Mediasi.
c. Para Pihak dinyatakan tidak beriktikad baik sebagaimana telah disinggung sebelumnya.
Setelah menerima pemberitahuan, Hakim Pemeriksa Perkara segera menerbitkan penetapan untuk melanjutkan pemeriksaan perkara sesuai dengan ketentuan hukum acara yang berlaku.
Apakah dimungkinkan Perdamaian sukarela pada tahap pemeriksaan perkara? PERMA menyatakan, pada tiap tahapan pemeriksaan perkara, Hakim Pemeriksa Perkara tetap berupaya mendorong atau mengusahakan perdamaian hingga sebelum pengucapan putusan. Artinya, Akta Perdamaian dapat diajukan dan disepakati Para Pihak kapanpun itu dan sekalipun mediasi telah dinyatakan deadlock.
Mekanismenya, Para Pihak atas dasar kesepakatan dapat mengajukan permohonan kepada Hakim Pemeriksa Perkara untuk melakukan perdamaian pada tahap pemeriksaan perkara.
Setelah menerima permohonan Para Pihak untuk melakukan perdamaian, ketua majelis Hakim Pemeriksa Perkara dengan membuat penetapan segera menunjuk salah seorang Hakim Pemeriksa Perkara untuk menjalankan fungsi Mediator dengan mengutamakan Hakim yang bersertifikat.
Hakim Pemeriksa Perkara wajib menunda persidangan paling lama 14 (empat belas) hari terhitung sejak penetapan upaya perdamaian selama proses persidangan.
Mengenai kemungkinan Perdamaian Sukarela pada tingkat upaya hukum banding, kasasi, atau peninjauan kembali, hal tersebut dimungkinkan sepanjang perkara belum diputus pada tingkat upaya hukum banding, kasasi atau peninjauan kembali, dimana Para Pihak atas dasar kesepakatan dapat menempuh upaya perdamaian.
Jika dikehendaki, Para Pihak melalui ketua Pengadilan mengajukan Kesepakatan Perdamaian secara tertulis kepada Hakim Pemeriksa Perkara tingkat banding, kasasi, atau peninjauan kembali untuk diputus dengan Akta Perdamaian sepanjang substansinya tidak melanggar hukum ataupun kepentingan pihak diluar sengketa.
Kesepakatan Perdamaian tersebut diatas wajib memuat ketentuan yang mengesampingkan putusan yang telah ada. Akta Perdamaian kemudian ditandatangani oleh Hakim Pemeriksa Perkara tingkat banding, kasasi, atau peninjauan kembali dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak diterimanya Kesepakatan Perdamaian.
Apabila berkas perkara banding, kasasi, atau peninjauan kembali belum dikirimkan, berkas perkara dan Kesepakatan Perdamaian dikirimkan bersama-sama ke Pengadilan Tinggi atau Mahkamah Agung.
Terhitung sejak penetapan perintah melakukan Mediasi dan penunjukan Mediator, jangka waktu proses Mediasi tidak termasuk jangka waktu penyelesaian perkara sebagaimana ditentukan dalam kebijakan Mahkamah Agung mengenai penyelesaian perkara di Pengadilan tingkat pertama dan tingkat banding pada 4 (empat) lingkungan peradilan.
Terhadap Putusan yang menyatakan gugatan tidak dapat diterima (dikarenakan penggugat dinyatakan tidak beriktikad baik dalam proses Mediasi sehingga gugatan dinyatakan tidak dapat diterima oleh Hakim Pemeriksa Perkara) dan dalam hal Para Pihak secara bersama-sama dinyatakan tidak beriktikad baik oleh Mediator, serta penetapan penghukuman Biaya Mediasi tidak dapat dilakukan upaya hukum.
Jika Para Pihak tidak berhasil mencapai kesepakatan, pernyataan dan pengakuan Para Pihak dalam proses Mediasi tidak dapat digunakan sebagai alat bukti dalam proses persidangan perkara.
Catatan Mediator wajib dimusnahkan dengan berakhirnya proses Mediasi. Begitupula Mediator tidak dapat menjadi saksi dalam proses persidangan perkara yang bersangkutan, disamping tidak dapat dikenai pertanggungjawaban pidana maupun perdata atas isi Kesepakatan Perdamaian hasil Mediasi.
Adapun salah satu terobosan hukum inovatif oleh MA RI dalam PERMA, ialah diakomodasinya kemungkinan bagi warga negara untuk membuat “perjanjian” yang langsung memiliki kekuatan eksekutorial, sehingga tingkatannya jauh lebih tinggi dari akta notaril, yakni: Para Pihak dengan atau tanpa bantuan Mediator bersertifikat yang berhasil menyelesaikan sengketa di luar Pengadilan dengan Kesepakatan Perdamaian dapat mengajukan Kesepakatan Perdamaian kepada Pengadilan yang berwenang untuk memperoleh Akta Perdamaian dengan cara mengajukan gugatan.
Pengajuan gugatan sebagaimana dimaksud diatas harus dilampiri dengan Kesepakatan Perdamaian dan dokumen sebagai alat bukti yang menunjukkan hubungan hukum Para Pihak dengan objek sengketa.
Hakim Pemeriksa Perkara di hadapan Para Pihak hanya akan menguatkan Kesepakatan Perdamaian menjadi Akta Perdamaian, jika Kesepakatan Perdamaian tidak melanggar hukum ataupun merugikan pihak ketiga.
Akta Perdamaian atas gugatan untuk menguatkan Kesepakatan Perdamaian harus diucapkan oleh Hakim Pemeriksa Perkara dalam sidang yang terbuka untuk umum paling lama 14 (empat belas) hari terhitung sejak gugatan didaftarkan. Salinan Akta Perdamaian tersebut kemudian wajib disampaikan kepada Para Pihak pada hari yang sama dengan pengucapan Akta Perdamaian.
Dalam hal Kesepakatan Perdamaian diajukan untuk dikuatkan dalam bentuk Akta Perdamaian tidak memenuhi ketentuan hukum yang berlaku, Hakim Pemeriksa Perkara wajib memberikan petunjuk kepada Para Pihak tentang hal yang harus diperbaiki dari draf Surat Perdamaian yang mereka ajukan untuk dikukuhkan lewat putusan pengadilan.
Dengan tetap memperhatikan tenggang waktu penyelesaian pengajuan Akta Perdamaian sebagaimana ketentuan 14 hari wajib diputuskan hakim terhitung sejak gugatan didaftarkan, Para Pihak wajib segera memperbaiki dan menyampaikan kembali Kesepakatan Perdamaian yang telah diperbaiki kepada Hakim Pemeriksa Perkara.
Berbagai terobosan serta kreatifitas Hakim Agung dalam deregulasi tampak dalam peraturan Mahkamah Agung ini. Sejak PERMA No. 1 Tahun 2016 ini mulai berlaku, PERMA Nomor 01 Tahun 2008 dicabut dan dinyatakan tidak lagi berlaku.
Baca juga:
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.