Memahami Hukum Kontrak Perdata / Perjanjian bagi Orang Awam

ARTIKEL HUKUM
Baik kalangan pebisnis hingga ibu rumah tangga, tidak lepas dengan hukum perikatan perdata (atau yang sering disebut juga dengan hubungan hukum kontraktual) dalam keseharian. Apakah yang terjadi di balik “latar belakang” suatu hubungan hukum kontraktual?
Ketika seorang warga negara atau suatu badan hukum mengikatkan diri dengan subjek hukum lain dalam suatu perjanjian atau kontrak, hukum perdata kontraktual bekerja dibaliknya dengan membuat “jaring-jaring” perikatan baik secara satu arah maupun bertimbal-balik (kontraprestasi).
Setiap warga negara adalah pengemban hukum, dalam arti terikat oleh hukum tanpa dapat berkilah dengan mengatasnamakan “tidak mengerti hukum”, demikian jargon hukum berbunyi. Secara teroretis, hukum dibagi menjadi dua jenis: hukum pidana dan hukum perdata. Hukum perdata lebih kearah hubungan perikatan antar warga negara secara mikro, dan itulah yang kini sedang kita bahas bersama.
Bila seseorang telah berjanji, baik secara lisan maupun tertulis, maka ia terikat oleh perikatan yang dibuatnya, dan pihak yang diberi janji dapat meminta bantuan hukum untuk memaksa si pemberi janji untuk melaksanakan janji yang telah diberikannya dengan mengajukan “gugatan wanprestasi” ke hadapan yurisdiksi pengadilan tempat tergugat berdomisili ataupun tempat dimana objek sengketa berada.
Mengapa janji yang tidak dilaksanakan dapat mengakibatkan konsekuensi hukum? Dalam hukum perdata, terdapat asas yang disebut sebagai asas “pacta sunt servanda”—yang artinya, perjanjian berlaku sebagai (pseudo) hukum yang mengatur dan mengikat bagi para pihak yang mengikatkan diri didalamnya.
Asas pacta sunt servanda ini tidak hanya diakui dan dianut oleh hukum Indonesia, namun diakui dan dianut oleh hukum internasional maupun hukum setiap negara. Oleh karenanya, dalam hukum dagang internasional, asas pacta sunt servanda ini memainkan peranan penting.
Sebagai contoh, seorang importir memesan satu kontainer suku cadang dari Jerman, maka baik pelaku usaha di Indonesia maupun eksportir dari Jerman terikat oleh kesepakatan yang telah mereka sepakati dan bentuk bersama. Bila salah satu pihak kemudian cidera janji (wanprestasi), maka hal tersebut menjadi bukti adanya itikad tidak baik yang dapat dihukum oleh pengadilan yang berwenang menyelesaikan sengketa atas hubungan kontraktual diantara mereka.
Prestasi, secara umum dibagi menjadi tiga buah jenis, yakni janji untuk: memberikan sesuatu, berbuat sesuatu, dan/atau untuk tidak berbuat sesuatu.
Salah satu contoh sebagai ilustrasi, hukum perdata mengatur bahwa ketika pasangan suami-istri melangsungkan pernikahan secara resmi, pada hari itu pula secara efektif terjadi percampuran harta bersama yang sering dikenal dengan istilah “harta gono-gini”. Bisakah para pihak menentukan lain?
Jawab: Bisa, dan disitulah hukum kontrak dapat dilibatkan oleh para pihak dengan membuat perjanjian pra-nikah pemisahan harta kekayaan sehingga harta kekayaan mereka selama berlangsungnya perkawinan tidak tercampur sebagai harta bersama, namun tetap akan dikategorikan sebagai harta bawaan.
Apakah dalam perjanjian pra-nikah tersebut perlu diatur bahwa harta bawaan tidak tercampur juga dalam harta gono-gini?
Jawab: Tidak perlu, karena hukum perdata telah menentukan bahwa harta bawaan tidak tercampur-baur sebagai harta gono-gini. Sehingga, sekalipun tanpa dibuatnya perjanjian pra-nikah, harta bawaan seperti hibah ataupun warisan tidak menjadi harta bersama antara pasangan suami-istri.
Hingga saat ini, belum terdapat pandangan sejalan diantara para kalangan sarjana hukum, pasal manakah dari hukum perdata yang diterbitkan negara yang dapat disimpangi para pihak yang mengikat diri dalam kontrak. Semuanya diserahkan pada nalar, akal sehat, serta kebiasaan niaga serta praktik peradilan.
Namun, bila hukum perdata yang diatur negara menegaskan secara tegas perikatan perdata apa yang tidak dapat disimpangi para pihak, maka pacta sunt servanda tidak berlaku khusus secara spesifik terhadap hal-hal yang sudah diatur negara dan dinyatakan peraturan perundang-undangan tersebut sebagai tidak dapat disimpangi.
Contoh ketentuan hukum yang dapat disimpangi, hukum acara perdata mengatur bahwa gugatan diajukan ke hadapan yurisdiksi pengadilan negeri dimana tergugat berdomisili (bedakan antara konsep hukum “domisili” dengan “alamat tempat tinggal sesuai KTP”. Domisili adalah tempat berdiam secara real, de facto, alias senyatanya). Namun para pihak dapat mengatur dalam kontrak, bahwa lembaga yang berwenang memutus bila terjadi sengketa, ialah lembaga alternatif penyelesaian sengketa seperti Badan Arbitrase Nasional Indoensia (BANI), sebagai contoh, maka pengadilan negeri tidak berwenang memeriksa maupun memutus sengketa antara para pihak tersebut dengan dinyatakan keliru dalam kompetensi absolut.
Contoh perikatan perdata yang tidak dapat disimpangi sekalipun dengan kontrak perdata, ialah ketentuan mengenai Upah Minimum Regional maupun Sektoral. Tidaklah dibolehkan pengusaha untuk memberi gaji bagi karyawannya dibawah UMR/UMP dengan alasan besaran gaji telah disepakati oleh para pihak, antara pemberi kerja dan karyawan/buruh.
Dalam teori hukum kontrak perikatan perdata, dikenal dengan istilah terdapatnya “cacat kehendak” oleh karyawan yang menyatakan bersedia diberi gaji dibawah UMR/UMP, karena adanya ketimpangan kekuasaan ekonomi antara pemberi kerja dan calon karyawan, sehingga negara hukum mengantisipasi penyalahgunaan posisi dominan demikian. Itulah fungsi negara yang perlu hadir bagi warga-negaranya.
Sebagai ringkasan sejarah terbentuknya asas “kebebasan berkontrak” ini, lahir oleh praktik perdagangan sejak dahulu kala. Kala itu stratifikasi sosial masyarakat masih sangat sederhana. Tidak ada pemodal besar ataupun korporasi yang terlampau kuat dan tidak ada ketimpangan dengan pihak lain yang cukup signifikan. Sehingga asas kebebasan berkontrak dapat berlangsung secara seimbang dan setimpal.
Saat revolusi industri mulai digalakkan pada abad ke-18 hingga abad ke-19, mulai terjadi berbagai revolusi sosial akibat ketimpangan stratifikasi sosial ekonomi masyarakat. Buruh menjadi pihak yang demikian lemah di mata kalangan pemilik industri, sehingga para buruh terancam kelaparan.
Teori Adam Smith lewat spekulasi dan asumsi “the invisible hand”-nya menulai polemik akibat ketimpangan ekonomi tersebut. Eropa menjadi saksi sejarah bagaimana kebebasan berkontrak telah memakan banyak korban pihak yang lemah secara ekonomi.
Mulailah Marx mencetuskan ide negara proletar sebagai tanggapan terhadap asas kebebasan berkontrak yang gagal ditangani negara yang sekadar menjadi pengamat dan penjaga keamanan, sementara kegiatan ekonomi diliberalisasikan secara total dalam mekanisme pasar.
Tipe Negara Hukum (rechtsstaat) berangsur-angsur ditinggalkan pada awal abad ke-21 ini, menjelma menjadi Negara Kesejahteraan (welfare state) dimana negara ikut campur dalam kegiatan ekonomi masyarakat. Mulailah otoritas dibidang ketenagakerjaan menggalakkan berbagai regulasi perlindungan buruh. Begitupula Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) dikuatkan dan diberi keistimewaan yang tidak dimiliki lembaga lain.
Paham-paham komunisme tidak akan berbenih maupun bangkit bila negara mencegah praktik-praktik liberalisme dan kapitalisme secara ekstrim. Marx tidak akan menulis bukunya yang termasyur tanpa realita pedih parktik liberalisasi. Komunisme maupun liberalisme, erat kaitannya dengan hukum perdata antar warga negara, dimana negara dapat memilih: turut campur tangan atau membiarkan mekanisme pasar bebas mengambil alih hubungan antar warga negaranya. Tanpa Marx, mungkin teori Negara Kesejahteraan pun tidak akan ditemukan, karena Marx memperkenalkan sudut pandang baru bagi kita dalam melihat hubungan kontraktual / keperdataan. Konsep welfare state sejatinya ialah evolusi yang lebih modern dari teori Marx dalam sendi-sendi tertentu, sebagaimana dapat kita jumpai pada tipe negara sosialis.
Kontrak, sebagaimana diutarakan oleh Alm. Harry Natakoesoemah, dalam penyusunannya memiliki tiga buah aspek: aspek yuridis, aspek seni, dan aspek ekonomi. Aspek yuridis dan aspek seni menjadi keterampilan utama kalangan sarjana hukum, dimana seorang legal drafter mengetahui secara pasti rambu-rambu dalam penyusunan kontrak. Sebagai contoh, regulasi Indonesia saat ini mengatur bahwa kontrak yang dijalankan di Indonesia, wajib menggunakan Bahasa Indonesia dan wajib pula menggunakan mata uang Rupiah.
Sementara dalam menyikapi aspek ekonomi/bisnis, seorang legal drafter wajib berkorespondensi dengan pihak manajemen suatu perusahaan ataupun kepada pihak klien yang menggunakan jasa sarjana hukum dalam legal drafting. Aspek ekonomi/bisnis ini memiliki karakter unik sesuai jenis bidang usaha yang dijadikan objek perikatan.
Dalam hukum perikatan perdata, dikenal dua jenis perikatan: perikatan murni dan perikatan tidak murni. Perikatan murni ialah perikatan yang diakui dan dibolehkan oleh otoritas/hukum negara, semisal jual-beli, sewa-beli (leasing), tukar-menukar, hibah, wasiat, pinjam-pakai, sewa-menyewa, dsb. Sementara itu perikatan tidak murni adalah perikatan yang tidak sempurna karena tiada sanksi yang boleh dikenakan sekalipun sanksi itu diatur dalam perikatan—sebagai contoh hutang-piutang dalam hubungan hukum yang bersumber dari perjudian, maka hutang-piutang tersebut tidak dapat ditagih dan terserah kepada si penghutang apakah hendak melunasi hutang judinya ataukah tidak.
Berbeda dengan perikatan tidak murni, dalam perikatan murni dapat diatur sanksi dalam kontrak bila salah satu pihak cidera janji, dan otoritas negara dapat diminta bantuan untuk melakukan eksekusi terhadap kontrak lewat gugatan ke hadapan pengadilan.
Dalam teori, terdapat pandangan bahwa perjanjian yang mengatur banyak perikatan namun tidak mencantumkan klausula sanksi atas pelanggaran masing-masing perikatan, maka perikatan yang dilanggar tidak akan terancam sanksi apapun. Pandangan tersebut masih menjadi pandangan mayoritas kalangan hukum bahkan hingga saat ini dan telah memakan banyak “korban”.
Terdapat sebuah pertanyaan umum yang lazim SHIETRA & PARTNERS terima: bolehkan membuat kontrak hanya berupa satu lembar saja? Dalam arti tidak demikian mendetail? Apakah tidak berbahaya membuat kontrak yang hanya beberapa halaman saja?
Pada dasarnya, kontrak hanyalah bersifat mengisi kekosongan hukum—dalam artian, bila tidak diatur lain oleh para pihak, maka para pihak dalam kontrak tunduk dan diikat oleh hukum perdata yang telah diatur oleh negara seperti kewajiban penjual dan kewajiban pembeli serta hak masing-masing. Oleh karenanya, meski tidak diatur dalam kontrak hingga ratusan halaman tebalnya, dan sekalipun tidak mengatur mengenai sanksi, semestinya pengadilan merujuk kepada Pasal 1365 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata) yang menyatakan bahwa: “Tiap perbuatan melanggar hukum, yang membawa kerugian kepada seorang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian tersebut.”
Namun sebagai antisipasi, terutama bila menemui fakta bahwa yang memeriksa dan memutus adalah hakim konservatif, maka sebaiknya diatur secara tegas dan jelas eksplisit dalam kontrak, bentuk dan besaran sanksi bagi para pihak bila perikatan dalam kontrak dilanggar oleh salah satu pihak.
Lantas, apa beda antara “perikatan” dan “perjanjian”? Secara sederhana, dalam satu perjanjian dapat berisi satu atau lebih perikatan. Contoh, dalam perjanjian jual-beli, penjual diikat untuk menyerahkan objek jual-beli sementara pembeli diikat untuk menyerahkan uang jual-beli—disini terlihat setidaknya dua perikatan dalam satu perjanjian.
Perikatan itu sendiri dapat bersumber dari peraturan perundang-undangan, dapat juga diatur oleh para pihak dalam kontrak. Perbuatan melawan hukum terhadap berbagai ketentuan dalam KUHPerdata pun tergolong sebagai perikatan yang dapat digugat berdasarkan Pasal 1365 KUHPerdata sebagaimana telah disinggung diatas.
Dalam mengikat diri dalam kontrak, terdapat empat hal penting yang perlu diperhatikan, yakni:
1.    Kesepakatan para pihak dalam hubungan kontrak yang bertimbal balik;
2.    Cakap hukum atau berwenang mengikatkan diri dalam kontrak (misal telah dewasa dan tidak diampu, tidak pailit, dsb);
3.    Adanya objek atau jenis perikatan yang jelas serta spesifik (memorandum of understanding (MOU) tidak mengatur secara rinci dan spesifik perikatan yang diatur didalamnya, sehingga perikatannya hanya sebatas bersifat moral);
4.    Adanya causa / sebab pendahuluan yang sahih (semisal tak boleh perikatan mengenai jual-beli manusia).
Dalam teori hukum kontrak, pelanggaran nomor ke-1 dan ke-2 tidak otomatis perjanjian menjadi batal bila kemudian para pihak secara diam-diam terus melanjutkan kontrak tersebut. Semisal seorang gadis yang dipinang tidak menjawab “ya” ataupun “tidak”, namun hadir saat resepsi tunangan, maka dianggap perikatan pertunangan tersebut adalah berlaku. Atau semisal anak dibawah umur membeli makanan ringan di toko, maka perikatan tetap sah.
Sementara bila yang terjadi ialah pelanggaran terhadap unsur objektif dalam nomor ke-3 ataupun ke-4 diatas, maka para pihak dapat menyatakan bahwa kontrak adalah “batal demi hukum”—yang artinya perjanjian itu dianggap tidak pernah ada, tidak memiliki kekuatan eksekutorial, dan kondisi para pihak kembali dalam keadaan semula dan dipulihkan berbagai posisi, kondisi, maupun hak dan kewajibannya. Di Negeri Belanda, kebatalan perjanjian tidak se-ekstrim KUHPerdata Indonesia, karena hakim di Belanda dapat menentukan sampai sejauh mana kebatalan itu dapat berlaku sehingga peran pengadilan menjadi penting.
Kini, kita akan bahas pasal-pasal dari KUHPerdata yang relevan dalam konsep hukum perikatan perdata, antara lain:
-        Pasal 1338 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata): “Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Suatu perjanjian tidak dapat ditarik kembali selain dengan sepakat kedua belah pihak, atau karena alasan-alasan yang oleh undang-undang dinyatakan cukup untuk itu. Suatu perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik.”
-        Pasal 1337 KUHPerdata yang mengatur: “Suatu sebab adalah terlarang, apabila dilarang oleh undang-undang, atau apabila berlawanan dengan kesusilaan baik atau ketertiban umum.”
-        Hukum pun telah memberikan suatu perluasan makna sebuah perjanjian, lewat pengaturan Pasal 1339 KUHPerdata: “Suatu perjanjian tidak hanya mengikat untuk hal-hal yang dengan tegas dinyatakan didalamnya, tetapi juga untuk segala sesuatu yang menurut sifat perjanjian, diharuskan oleh kepatutan, kebiasaan, atau undang-undang.”
-        Pasal 1449 KUHPerdata: “Perikatan-perikatan yang dibuat dengan paksaan, kekhilafan, atau penipuan, menerbitkan suatu tuntutan untuk membatalkannya.”
-        Pasal 1464 KUHPerdata: “Jika pembelian dibuat dengan memberi uang panjar tak dapatlah salah satu pihak meniadakan pembelian itu dengan menyuruh memiliki atau mengembalikan uang panjarnya.”
-        Pasal 1233 KUHPerdata: “Tiap-tiap perikatan dilahirkan baik karena persetujuan, baik karena undang-undang.”
-        Pasal 1234 KUHPerdata: “Tiap-tiap perikatan adalah untuk memberikan sesuatu, untuk berbuat sesuatu, atau untuk tidak berbuat sesuatu.”
-        Pasal 1241 KUHPerdata: “Apabila perikatan tidak dilaksanakannya, maka si berpiutang boleh juga dikuasakan supaya dia sendirilah mengusahakan pelaksanannya atas biaya si berutang.”
-        Pasal 1242 KUHPerdata: “Jika perikatan itu bertujuan untuk tidak berbuat sesuatu, maka pihak yang manapun jika yang berbuat berlawanan dengan perikatan, karena pelanggaran itu dan karena itu pun saja, wajiblah ia akan penggantian biaya, rugi, dan bunga.”
-        Pasal 1254 KUHPerdata: “Semua syarat yang bertujuan melakukan sesuatu yang tak mungkin terlaksana, sesuatu yang bertentangan dengan kesusilaan baik, atau sesuatu yang dilarang oleh undang-undang, adalah batal, dan berakibat bahwa perjanjian yang digantungkan padanya, tak berdaya.
Hukum perikatan perdata tidak hanya berpayung pada KUHPerdata yang menjadi hukum perdata umum. Contoh, dalam kontrak jasa konstruksi, maka tunduk pada Undang-Undang tentang Jasa Konstruksi, dimana regulator telah menentukan hal-hal penting dalam perikatan yang wajib diikuti pengguna jasa maupun penyedia jasa konstruksi.
Dalam perikatan ketenagakerjaan, baik pihak pemberi kerja maupun karyawan tunduk pada regulasi dibidang ketenagakerjaan. Dalam kontrak karya maupun kontrak tambang mineral, batubara, dsb, tunduk pada regulasi spesifik terkait. Dengan demikian, sesuaikan kontrak Anda dengan bidang usaha yang diatur dalam perikatan kontrak tersebut.
Bagaimana dengan kontrak baku? Kontrak baku dilarang dalam UU tentang Perlindungan Konsumen, sebagai contoh klausula baku dalam tiket jasa parkir bahwa kehilangan kendaraan bukan menjadi tanggung jawab penyedia jasa parkir—Mahkamah Agung telah menyatakan klausul baku demikian adalah batal sehingga bila terjadi kehilangan maka menjadi beban dari penyedia / operator jasa parkir. Kerap juga kita jumpai ketentuan "syarat dan ketentuan dapat berubah sewaktu-waktu", maka hal demikian termasuk causa yang tidak sahih, sebab Pasal 1338 Ayat (2) KUHPerdata mengatur bahwa perikatan hanya dapat diubah lewat kesepakatan ulang para pihak, tidak dapat sepihak yang menyerupai bentuk "perbuatan main hakim sendiri".
Kontrak baku pun dapat menjadi bukti konkret bagi pihak lemah dengan menyatakan bahwa telah terjadi / terdapat ketimpangan dalam hubungan kontraktual, sehingga dapat dibatalkan karena ketidakseimbangan bobot tanggung-jawab dan hak masing-masing pihak.

Baca juga selengkapnya dalam:
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.