Aspek Hukum Penyalahgunaan Trasfer Pricing, Profit Shifting, Untung Melapor Merugi

LEGAL OPINION
Question: Apa rambu-rambu atau kriteria secara hukum suatu aksi korporasi dalam satu grub usaha dapat atau tidaknya dikatakan melakukan praktik “transfer pricing” secara ilegal atau melawan hukum?
Brief Answer: Instrumen circumstantial evidence berupa grafik ekonomi dapat menjadi pembuktian ketidakwajaran aksi dan transaksi bisnis listas sektoral maupun lintas negara, baik jual-beli barang/jasa, hutang-piutang, pengikatan agreement, dsb. Disamping KPPU, instansi yang paling mengenal modus “illegal transfer pricing” ialah Dirjen Pajak. Oleh sebab itu sifat / karakter aksi korporasi yang wajar menjadi kunci dari dapat dikatakan atau tidaknya telah terjadi “illicit transfer pricing”.
PEMBAHASAN :
Terdapat beberapa instrumen hukum guna menentukan kriteria “illicit transfer pricing” atau tidaknya suatu kewajaran aksi korporasi, yakni:
-    Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor : PER-32/PJ/2011 Tentang  Perubahan Atas Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-43/PJ/2010 Tentang Penerapan Prinsip Kewajaran Dan Kelaziman Usaha Dalam Transaksi Antara Wajib Pajak Dengan Pihak Yang Mempunyai Hubungan Istimewa.
-    Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-22/PJ/2013 tentang Pedoman Pemeriksaan Terhadap Wajib Pajak Yang Mempunyai Hubungan Istimewa.
-    Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-50/PJ/2013 tentang Petunjuk Teknis Pemeriksaan Terhadap Wajib Pajak yang Mempunyai Hubungan Istimewa.
-    Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-26/PJ/2013 tentang Petunjuk Teknis Pemeriksaan Perusahaan Grup.
-    Peraturan Menteri Keuangan Nomor 169/PMK.010/2015 Tentang Penentuan Besarnya Perbandingan Antara Utang Dan Modal Perusahaan Untuk Keperluan Penghitungan Pajak Penghasilan.
Dalam Perdirjen Pajak No. PER-32/PJ/2011, mengenal beberapa definisi/pengertian, antara lain:
1.    Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha (Arm's length principle/ALP) merupakan prinsip yang mengatur bahwa apabila kondisi dalam transaksi yang dilakukan antara pihak yang mempunyai Hubungan Istimewa sama atau sebanding dengan kondisi dalam transaksi yang dilakukan antara pihak yang tidak mempunyai Hubungan Istimewa yang menjadi pembanding, maka harga atau laba dalam transaksi yang dilakukan antara pihak-pihak yang mempunyai Hubungan Istimewa harus sama dengan atau berada dalam rentang harga atau laba dalam transaksi yang dilakukan antara pihak yang tidak mempunyai Hubungan Istimewa yang menjadi pembanding.
2.    Harga Wajar atau Laba Wajar adalah harga atau laba yang terjadi dalam transaksi yang dilakukan antara pihak-pihak yang tidak mempunyai Hubungan Istimewa dalam kondisi yang sebanding, atau harga atau laba yang ditentukan sebagai harga atau laba yang memenuhi Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha.
3.    Analisis Kesebandingan adalah analisis yang dilakukan oleh Wajib Pajak atau Direktorat Jenderal Pajak atas kondisi dalam transaksi yang dilakukan antara Wajib Pajak dengan pihak yang mempunyai Hubungan Istimewa untuk diperbandingkan dengan kondisi dalam transaksi yang dilakukan antara pihak-pihak yang tidak mempunyai Hubungan Istimewa, dan melakukan identifikasi atas perbedaan kondisi dalam kedua jenis transaksi dimaksud.
4.    Penentuan Harga Transfer (transfer pricing) adalah penentuan harga dalam transaksi antara pihak-pihak yang mempunyai Hubungan Istimewa.
Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor : PER-32/PJ/2011 memiliki beberapa kaidah utama, yakni:
Pasal 2:
1.    Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini berlaku untuk Penentuan Harga Transfer (Transfer Pricing) atas transaksi yang dilakukan Wajib Pajak Dalam Negeri atau Bentuk Usaha Tetap di Indonesia dengan Wajib Pajak Luar Negeri diluar Indonesia.
2.    Dalam hal Wajib Pajak melakukan transaksi dengan pihak-pihak yang mempunyai Hubungan Istimewa yang merupakan Wajib Pajak Dalam Negeri atau Bentuk Usaha Tetap di Indonesia, Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini hanya berlaku untuk transaksi yang dilakukan oleh Wajib Pajak dengan pihak-pihak yang mempunyai Hubungan Istimewa untuk memanfaatkan perbedaan tarif pajak yang disebabkan antara lain:
a.     perlakuan pengenaan Pajak Penghasilan final atau tidak final pada sektor usaha tertentu;
b.    perlakuan pengenaan Pajak Penjualan atas Barang Mewah; atau
c.     transaksi yang dilakukan dengan Wajib Pajak Kontraktor Kontrak Kerja Sama Migas.
Pasal 3:
1.    Wajib Pajak dalam melakukan transaksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dengan pihak-pihak yang mempunyai Hubungan Istimewa wajib menerapkan Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha.
2.    Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha dilakukan dengan langkah-langkah sebagai berikut:
a.     melakukan Analisis Kesebandingan dan menentukan pembanding;
b.    menentukan metode Penentuan Harga Transfer yang tepat;
c.     menerapkan Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha berdasarkan hasil Analisis Kesebandingan dan metode Penentuan Harga Transfer yang tepat ke dalam transaksi yang dilakukan antara Wajib Pajak dengan pihak yang mempunyai Hubungan Istimewa; dan
d.    mendokumentasikan setiap langkah dalam menentukan Harga Wajar atau Laba Wajar sesuai dengan ketentuan perundang-undangan perpajakan yang berlaku.
3.    Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha (Arm's Length Principle/ALP) mendasarkan pada norma bahwa harga atau laba atas transaksi yang dilakukan oleh pihak-pihak yang tidak mempunyai Hubungan Istimewa ditentukan oleh kekuatan pasar, sehingga transaksi tersebut mencerminkan harga pasar yang wajar (Fair Market Value/FMV).
4.    Wajib Pajak yang melakukan transaksi dengan pihak-pihak yang mempunyai Hubungan Istimewa dengan nilai seluruh transaksi tidak melebihi Rp 10.000.000.000,00 (sepuluh milyar rupiah) dalam 1 (satu) tahun pajak untuk setiap lawan transaksi, dikecualikan dari kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (2).

Sementara itu Pasal 3 Ayat (4) Peraturan Menteri Keuangan Nomor 169/PMK.010/2015 Tentang Penentuan Besarnya Perbandingan Antara Utang Dan Modal Perusahaan Untuk Keperluan Penghitungan Pajak Penghasilan:
“Dalam hal Wajib Pajak mempunyai utang kepada pihak-pihak yang mempunyai hubungan istimewa, disamping harus memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (3), biaya pinjaman atas utang kepada pihak-pihak yang mempunyai hubungan istimewa tersebut harus pula memenuhi prinsip kewajaran dan kelaziman usaha ...”